Monday, December 12, 2016

Rupa Tuhan

Kita mungkin pernah merasakan keraguan akan kehadiran Tuhan di dalam diri kita secara pribadi. Namun, pernahkah merasakan keraguan itu tumbuh dan hilang karena ada norma sosial yang melarang untuk mempertanyakan itu? Dalam tulisan saya ini, saya akan berusaha menjelaskan rupa Tuhan yang kita anut secara sosial maupun pribadi. Dan juga, sebagai pengerat dan peningkat keimanan kita akan Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berdoa dan berharap agar doa kita didengar oleh Tuhan. Ini menandakan seakan-akan Tuhan memiliki telinga, dan secara tak langsung, Dia memiliki sebuah perasaan yang sama dengan kita. Anehnya, kita menganggap Dia sama dengan kita dan terlihat sangat manusiawi. Di dalam agama Ibrahim, kita melihat beberapa konsep yang serupa. Trinitas misalnya, secara logis, kita sulit menerimanya, namun secara filosofis dan psikologis, kita terkesan sangat intim dengan konsep trinitas itu. Konon dalam buku Sejarah Tuhan, karen armstrong, agama Ibrahim yang kedua ini sudah berpadu dengan filsafat yunani. Sehingga Tuhan sangat terkesan sangat dekat dengan kita. Tuhan yang dulunya mungkin terlihat sangat jauh, sekarang terlihat sangat dekat dengan kita. Kudus atau Kaddosh artinya berbeda, yang menandakan keterpisahan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Filsafat membuat kita dekat dengan Tuhan. Secara psikologis pun juga terlihat. Kasus yang dibawakan oleh Sigmund Freud, di dalam bukunya tentang Totem dan Tabu, memperlihatkan bahwa dalam agama yang dilahirkan dalam suku pedalaman merupakan produk sosial. Dia memperlihatkan Tuhan yang sangat menyerupai seorang lelaki perkasa. Dia juga menjelaskan pada mulanya, manusia primitif saling membunuh satu sama lain dikarenakan nafsu seksnya. Jika seorang ayah memiliki seorang anak lelaki, keduanya akan bertempur untuk merebut ibunya. Dan kasus ini pun terus berulang, sampai manusia primitif itu berpikir. Kita bisa melihatnya dalam dewa-dewa yunani kuno. Mereka saling membunuh satu sama lain, bahkan mereka (anak-anak lelakinya) berusaha membunuh ayahnya. Manusia yang berpikir ini mulai merasakan keperhatinannya. Sehingga para saudara-saudaranya sepakat untuk tidak membunuh satu sama lainnya. Dan dengan kesepakatan ini lahirlah sebuah kepercayaan secara turun-temurun. Kepercayaan inilah yang menjadi pundak dasar rasa kemanusiaan. Di dalam agama Buddha, kita tak perlu pertanyakan lagi tentang sifat kemanusiaan ini. Kata-kata yang dilahirkan oleh agama Buddha begitu dekat dengan hati kita karena memang pada dasarnya agama ini dilahirkan oleh seorang manusia. Nirvana diartikan 'pemunahan'atau biasanya disebut 'pemberhentian'. Di dunia ini sarat akan penderitaan sehingga satu-satunya jalan untuk menghentikan ini yaitu dengan menuju Nirvana. Freud mengatakan bahwa agama adalah sumber dari ilmu pengetahuan dan seni dan jika seseorang ingin mencari makna hidupnya, dia harus mencarinya dalam agama.

Dalam konsep kedua mungkin ini juga sangat familiar dengan kehidupan kita sehari-hari. Konsep kedua akan ketuhanan sangat erat dengan kaitannya dengan simbol. Dalam agama suku pedalaman, ini disebut dengan totem. Di sinilah manusia primitif memikirkan bagaimana caranya agar kita tak saling membunuh satu sama lain yaitu menciptakan Tuhan yang sangat simbolis, yang sangat maha kuat dan kuasa sehingga kita takut kepadanya. Namun, di dalam agama suku pedalaman, ini merupakan simbol yang menjadi tujuan hidup mereka, yang mewakili dirinya. Sehingga totem mereka terlihat sangat mirip dengan hewan, namun sebenarnya lebih dari itu. Keperkasaan akan Tuhan membentuk diri kita yang sangat rasional dan sangat intim. Keintiman ini juga membuat kita sangat dekat dengan Tuhan. Dalam agama Ibrahim yang ketiga, Tuhan memiliki banyak nama. Dengan nama-nama itu, kita bisa melihat akan keperkasaannya. Baik di dalam suku pedalaman dan juga, di dalam agama Ibrahim, kita bisa melihat bagaimana kita menggunakan simbol-simbol yang menyerupai nama itu mewakili diri kita. Inilah bukti kedekatan kita akan Tuhan. Menggunakan simbol-simbol-Nya untuk merasakan-Nya.

Konsep ketiga sangat berkatian dengan kekudusan Tuhan. Kekudusan atau keperbedaan memiliki makna yang sangat sakral.  “Kudus, kudus, kudus- lah TUHAN semesta alam [Yahweh Sabaoth]. Seluruh bumi penuh kemuliaannya!” ketika Tuhan turun ke kuil agama Ibrahim yang pertama. Yesaya merakan kesakral akan Tuhan, sehingga dia tak bisa mengatakan nama Tuhan. Keperbedaan ini membuat gap atau jarak kita dengan Tuhan. Sehingga Tuhan begitu terasa jauh dan tak terbayangkan akan keagungannya. Keperbedaan ini membuat kepatuhan yang absolut bagi makhluk-Nya. Rasa takut yang timbul ini lah membuat kita patuh. Dalam agama Ibrahim yang ketiga juga menampakkan keperbedaan ini dengan nama-nama yang sangat melebihi manusia biasa. Ketika manusia mendengar, rupa Tuhan melebihi mendengar menjadi 'maha' mendengar. Melihat menjadi 'maha' melihat. Dengan begini, Tuhan tak terlihat manusiawi namun lebih dari pada itu. Dalam syiah, ini disebut sebagai negatifitas. Ketika seseorang mengatakan tuhan itu ada, tuhan menjadi tiada, artinya maha ada yang melebihi 'ada'. Dalam kaum filsuf, Tuhan terlihat begitu jauh sehingga dia tak perlu bergerak untuk menggerakkan dunia ini. Jadi Tuhan yang seperti itu terlihat pragmatis, dan malas.

Dalam tulisan saya yang singkat ini setidaknya bisa menjadikan sebuah pelajaran yang sangat penting, dan bagi saya secara pribadi. Dan tulisan tentunya tidak bermaksud untuk menghina ataupun menjatuhkan agama tertentu. Dan juga, tulisan ini tidak bermaksud menihilkan sifat wahyu. Tulisan ini lebih cenderung kepada rupa atau keberadaan Tuhan pada masyarakat umum, yaitu seperti yang diungkap diatas, konsep manusiawi, simbolis, dan juga, keperbedaannya.

Tuesday, December 6, 2016

Agama dalam dekonstruksi

Jika anda seorang agamawan, pernahkah anda dikatakan sebagai agamawan liberal, moderat, atau bahkan dengan kata yang sangat ekstrim 'sesat' (maaf)? Sebenarnya itu adalah pandangan anda akan agama yang mewakili diri anda. Namun, itu juga sebuah proses dekonstruksi.

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final (wikipedia.com). Artinya dalam proses dekonstruksi, selalu terjadi penundaan dimana sang pembaca menghilangkan makna kontekstualnya dan mengacu pada makna final yang dianutnya sendiri. Misalnya seseorang yang mempelajari agama, dia tak akan pernah lepas dengan pengalaman yang dianutnya selama ini, misalnya pemikiran, budaya, maupun bahasa, sehingga mempengaruhi proses dia mempelajari agama tersebut dan menghasilkan sebuah perkawinan antara apa yang dia pelajari dan pengalaman yang telah dialaminya sebelumnya. Perkawinan tersebut bisa kita lihat dalam seorang agamawan yang telah mempelajari agama menjadi seorang agamawan yang liberal (misalnya islam liberal), jika pemikiran ia sebelumnya sangat khas akan kebebasan. Dalam kasus tertentu, bisa juga sebaliknya. Jika seorang liberalis mempelajari agama dan menghasilkan paham yang fanatik mungkin itu dikarenakan dia sangat membenci dirinya dahulu sehingga dia menjadi fanatik. Nietzsche, seorang filsuf jerman, sebelumnya sudah curiga akan hal ini.  Dia melihat sebuah perubahan etika antara apa yang baik dan buruk dulunya berubah ketika agama memasuki di eropa, sehingga apa yang baik dan buruk berubah menjadi apa yang baik dan jahat (atau setan/evil). 

Martin McQuillan dalam bukunya Deconstruction: A Reader (2001) menjelaskan bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah metode. Ketika seseorang membaca sebuah teks, ia tak perlu menggunakan metode dalam memahami apa yang dia baca. Namun, hal ini justru memperlihatkan pluralitas dalam memahami sehingga setiap orang mempunyai cara yang berbeda. McQuillan juga menjelaskan bahwa ada makna dominan yang pembaca angkat dari proses pembacaannya sehingga ada makna yang masih belum terungkap. Jacques Derrida (wikipedia) menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Makna dominan inilah yang berbahaya. Misalnya dalam kasus 9/11 di U.S, ada banyak media yang menyudutkan agama Islam sehingga media mendekonstruksi Islam dan menjadikannya sebagai agama terror. Makna final yang dibawa media ini membawakan wabah penyakit yang menakutkan bagi yang hidup di negara yang bukan mayoritas muslim, sehingga lahirlah penyakit seperti islamphobia. Padahal jika kita memakai pisau analisa Nietzsche, ada intrik tertentu mengapa media menyudutkan Islam. Kasus juga ini terjadi saat ini, peristiwa 4 November atau biasanya disebut 411, media lokal seperti nytimes.com menulis dengan headlinenya "Islamists March in Jakarta, Demanding Christian Governor Be Jailed". Dengan headline seperti itu tampak sebuah dekonstruksi, mengapa semestinya "Christian Governor" dari pada "Jakarta Governor". Namun, headline ini hanya nampak pada media lokalnya dan media umumnya seperti times.com lebih memilih jalur aman. 

Dalam tulisan saya ini saya berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan dekonstruksi dan dikaitkan dalam agama. Dan juga dekonstruksi sangat terlihat jelas dalam media. Penciptaan makna umum perlu dipertanyakan. 

Monday, June 20, 2016

Cara menulis essay (bagian 1): Klaim

Agan pasti tahu kalau menulis itu kadang susah dan kadang juga tidak.

Yah mau gimana lagi coba? Saya sendiri juga pusing, bahkan untuk pertama kalinya saya nulis blog kaya gini saja dah kerasa feel nulisnya. Kali ini, saya akan membahas bagaimana cara nulis essay.

Well, gan. Tulisan essay di sini merupakan kebiasaan saya menulis sebuah topik diskusi yang di dalamnya terdapat berbagai elemen struktural atau membangun, tapi itu semua tergantung si pembaca.

Pertama-tama, saya tidak akan membahas struktural atau bagan sebuah tulisan tapi melainkan yang lebih dasar dari pada itu, yaitu klaim.

Setelah melalui banyak pelatihan dengan guru saya yang pernah kuliah di luar negeri, saya terkadang bisa dibilang sampah. Tulisan saya dulu hancur banget. Bahkan guru muda saya itu bilang jangan nulis sampah (Maaf sedikit curhat).

Klaim itu sendiri sama dengan artinya sebuah pondasi dalam setiap paragraf. Klaim sama dengan sebuah opini tapi tak beralasan, atau dengan kata lain, sebuah ide pokok.

Marilah kita sebut dia sebagai sebuah klaim dari pada ide. 

Dan berikut contohnya,

Si D merupakan wanita tercantik di dunia.

Universitas U merupakan universitas terjelek di Makassar.

Apa feelnya sudah kerasa, gan?

Mengapa klaim lebih kepada opini, karena klaim sama artinya dengan pendapat kita, atau biasanya disebut sebagai opini tak beralasan.

Mesti kita bedakan antara klaim dan fakta. Misalnya, matahari terbenam di sebelah barat (fakta), air sifatnya cair (fakta), saya bangun selalu tepat waktu (fakta hihih). Apakah fakta bisa menjadi ide? 

Saya rasa fakta itu sendiri merupakan komponen berikutnya. 

Klaim atau ide pokok dalam sebuah tulisan memang memerlukan alasan sebagai pendukung (spoiler). Tapi tentunya ini hanya persoalan dramatis dalam kata.

Jadi klaim merupakan kalimat pembuka dalam sebuah tulisan, dan berikutnya saya akan membahas komponen pendukung.

Alur dalam sebuah paragraf, 1. Klaim 2. Pendukung

Pendukung lebih merujuk pada sebuah alasan, dan lagi-lagi kita membutuhkan sebuah kemampuan dramatis.

Kabulkanlah!

Mencintai seseorang merupakan sebuah keharusan. Akan tetapi, jika waktu akan segera melibas cinta itu. Sangat ironis kalimatku ini. Saya sangat berharap agar siapapun yang membaca tulisanku ini bisa mendoakanku agar saya menikahi wanita idamanku ini.

Dia begitu lembut, bola matanya bagaikan buah delima yang begitu berkilau dengan kacamatanya. Senyumnya yang begitu melelehkan hati. Kata pun tak terungkap, hanya mata yang menjadi saksi.

Namun cintaku tak akan berlanjut jika hanya sepasang kekasih bukan sebuah ikrar yang terpenuhi. Jadi kuharap, siapa pun yang membaca tulisan ini, doakanlah!

Agar sesuatu saat nanti, tulisan ini bisa menjadi nyata dan hidup... jika tidak ini akan melebur dalam buih ombak.

Hancur (Galau)

Tulisanku yang tak berbuah komentar.
Artinya, tulisanku hanya sebuah kepalsuan belaka, sebuah karya yang gagal.
Aku tak tahu menahu dimana aku bisa mendapatkan teman di dunia maya ini
Padahal begitu luas, dan entah tak berujung


Hancur, Galau
Oh Rasa ini
Belum lagi aku disibukkan oleh waktu yang berdetik
Keringat yang jatuh bagaikan bunyi sang jam bernyanyi
Begitu mengusik dan juga, menghauskan mata

Galau
Tidak galau
Hahahahahahaha

Hanya sampai sinikah kisahku berlabu?

Saturday, June 18, 2016

Sokrates dan Dialektika Kritisnya

Saya tidak akan membahas sejauh mana tentang sokrates, tapi lebih kepada segi praktisnya. Alasannya karena ini lebih berkesan berguna bagi kehidupan itu sendiri.

Pertama-tama, mari kita bahas tentang dialektika. Dialektika itu sendiri berasal dari Negeri Yunani, tapi entah pada saat itu mereka menamainya sebagai dialektika. Metode ini ditemukan oleh Zeno, murid Parmenides. Banyak menyangka bahwa metode ini ditemukan oleh Sokrates, mungkin lebih tepatnya dikembangkan.

Metode ini sangat memerankan penting sebuah dialog, antara A dan B. Hegel sendiri mengatakan bahwa sesuatu sebuah huruf A jika dibandingkan dengan semua huruf yang ada. Jadi dialektika merupakan keseluruhan. Kenyataan sendiri pun juga begitu. Jika merah dikatakan sebagai warna pada aspek dialektika, itu akan menjadi masalah. Hal ini disebabkan, jelasnya merah adalah bagian dari warna karena keseluruhan adalah kenyataannya. Hegel sendiri membagi dialektika menjadi tiga bagian, tesis, anti-tesis dan juga, sintesis. Tesis merupakan pondasinya, anti-tesis merupakan lawan pondasi tersebut, dan sintesis merupakan keseluruhannya. Dalam buku Madilog (materialiesme dialektika logika) juga dijelaskan dalam sebuah contoh idealnya. Cara mengatur kesenjangan sosial antara kaya dan miskin harus melalui sebuah kebijakan, karena kebijakan tersebut sudah mencakup semuanya. Namun ini hanya idealnya, kita tahu bahwa marxisme lebih condong pada reduksi ekonomi dan materi. Pada kenyataannya, masih terdapat kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Yang kaya memiliki hidup lebih baik karena telah memiliki semua materi, kendaraan, rumah, dan sebagainya. Sedangkan yang miskin semakin terpuruk.

Dalam konteks dialektika kritis, saya melihat proses dialog itu lebih kepada tatanan etika. Sokrates pada dahulunya banyak bertanya yang bahkan nyawanya menjadi taruhan. Ketika itu dia bertanya tentang makna negara pada tukang sepatu, dan pada akhirnya ditegur oleh seorang panglima, katanya sokrates lebih mudah diracuni . Misalnya dialektika kritis, ketika seseorang penanya yang memakai metode ini, bertanya apa arti keadilan itu pada seorang jaksa, lantas jawabannya tak memuaskan si penanya, mungkin karena si jaksa tersebut merupakan jaksa korup atau mungkin si penjawab lupa. Maka si penanya akan menghantuinya dengan berbagai pertanyaan yang akan berakhir kritis. Kritis mungkin di sini dapat dipandang sebagai sesuatu standar yang dimiliki setiap masa, sebuah proses idealisasi. Entah itu secara idealisasi tatanan bahasa atau logika, yang terpenting mereka terbatas akan waktu.

Akan tetapi model seperti ini sebenarnya memperbudak orang dengan idealisasi etika. Misalnya saja ketika kita mengkritisi dengan pertanyaan yang dialektis kepada seseorang, itu akan mempengaruhi batin seseorang jika ia setuju dan memikirkannya, namun jika dia menolak, justru orang itu marah. Nietzsche pernah mengatakan bahwa sokrates itu merupakan seorang budak moral karena hal tersebut. Doktrin liberalisme juga seperti itu, misalnya jangan menyakiti seseorang jika tidak ingin disakiti. Nietzsche mungkin dengan marah menjawab bahwa saya bukan budak moralmu.

Dan juga ketika kita mengkaji hal ini dalam tatanan ilmiah, misalnya empirisme. Metoda ini sangat tak bekerja, bagaimana caranya misalnya mengetahui luas kolam renang atau jumlah penyebaran virus. Ini sangat bertolak belakang dengan logika dan bahasa. Idealisme dan Empirisme.

Namun, apakah hal tersebut selalu merujuk pada fakta?

Dalam mencari kebenaran, itu bisa saja terjadi tapi akan mendapatkan kesulitan karena di sini, proses kritis tersebut sangat terbatas pada aspek logika dibandingkan kenyataan. Metode ini bisa dipakai agar seseorang bisa benar-benar sadar akan sesuatu yang bermakna. Pencerminan antara keadaan dan ketiadaan, dialektis itu tersebut sangat bermakna dari pada kenyataannya.

Thursday, June 16, 2016

Perang Pesan Struktural

Perang Pesan Struktural. Perang ini menandakan bahwa ada kompetisi yang menyehatkan antar media massa. Perang yang menimbulkan berbagai kemenangan dan juga tentunya, kekalahan. Namun, perang ini bukanlah berdasarkan senjata yang nyata terlihat melainkan pesan struktural. Pesan struktural adalah pesan yang membangun. Sesuatu yang diciptakan berdasarkan persetujuan di balik sebuah media. Dan tentunya, penekanannya juga ditentukan dari pesan struktural itu. Menurut Lacan, pesan-pesan itu merupakan proses simbolisasi dalam dunia alam bawah sadar. Yang dimana sang korban secara tak sengaja merekam apa yang dikatakan media tersebut. Misalnya iklan, yang paling sangat menonjol yaitu merek air minum seperti, ada abua. Ini sangat terlihat konyol dalam proses pengiklanan. Akan tetapi, itu sangat berarti dalam hal promosi dan tentunya, yang tak kalah penting, persaingan antar produk. Pada kenyataannya, setiap sang penulis ingin membeli air mineral gelas, selalu terdengar di benak sang penulis (wkwkwkwk). Dan anehnya lagi, bukan hanya itu bahkan setiap orang yang ingin membeli air mineral gelas, air gelasnya berganti dengan nama merek itu.
Itu adalah salah satu yang terjadi di media iklan, lalu bagaimana dengan media politik. Misalnya, media tv 1 itu membahas kecondongannya tentang media tv 2, dan tv 2 tentunya juga akan membahas tv 1 atas kepentingan partai merah dan biru. 
Pesan struktural ini seakan-akan sebagai sebuah ajang pencari kebenaran. Kebenaran manakah yang benar, tentunya ini sangat simbolis dan sangat jauh dari konteksnya. Pesan iklan, pesan politik merupakan sebuah pesan yang sangat begitu struktural. Dan begitu jauh dari pada kenyataannya. Bisa dikatakan sebagai cermin yang retak. 
Tak bisa dipungkiri, dunia media begitu berat untuk dipercayai, sehingga makna sosialnya pun telah hilang. Pada dasarnya, media harus membawakan berita yang nyata, bukan dengan kepentingan tersendiri. Sturuktural bahasa menekankan sebuah makna baru. Dengan begitu apa yang dikatakan Lacan benar, makna sebenarnya tidak stabil tapi begitu ditekankan, sehingga stabil. 
Ada satu hal yang membuat penulis tertarik dengan apa yang terjadi di era plato. Plato sangat melarang penyebaran cerita-cerita homerus yang begitu heroik dan vulgar. Mengapa vulgar? ini disebabkan ketika para dewa setelah berperang mereka melakukan banyak hal yang sangat mesum dah bahkan lebih dari itu. Plato sendiri sadar akan hal itu dan melarang penyebaran cerita-cerita homerus. Ini juga demi kepentingan masyarakat yang dia ingin bentuk. 

Bagaimana pendapat agan?

Apakah agan pro dengan pesan struktural ini? ataukah sebaliknya?